Fanfict

Boneka Bebek Dan Taman Spesial



Fanfict by: @MhmmdEdwin
Inspired by: @H_ElaineJKT48

           
Kulangkahkan kaki ini berjalan perlahan menuju kelasku. Sebelumnya perkenalkan namaku Muhammad Edwin. Pagi itu dimulai ketika aku sampai disekolah dan menuju ruang kelasku.

            Sesampainya, aku langsun menuju tempat duduk yang biasa ku tempati. Tiba-tiba teguran wanita mengagetkanku...
            “Ngapain lu duduk disini ?” tegurnya dengan wajah jutek.
            “Lah ini kan tempat duduk gue yang biasa, ada yang salah, ya ?” tanyaku heran.
            “Lu gak tau kalau sekarang ada peraturan baru ? Tuh...” balasnya lalu menunjukkan kertas peraturan baru yang ada dimading kelas.
            “Kok gue baru tau, ya ?” gumamku dalam hati.
            “Eh win sini ! Lu sekarang duduk sama gue !” sahut ajun dari belakang.

            Akhirnya aku menghampiri ajun yang berada dideretan belakang kelas. Masih diselimuti rasa penasaran karna siswi cewek tadi yang baru ku lihat pertama kali dikelas ini dan membuatku berfikir bahwa dia mungkin saja murid baru.

            “Murid baru, jun ?” tanyaku pada ajun yang sedang asik dengan smartphonenya.
            “Siapa ? Cewek tadi yang negur kamu ?” balasnya lalu berhenti dengan aktifitas dismartphonenya.
            “Iya, murid baru dia ?”
            “Oh iya win, lu sih jarang masuk. Dia baru 2 hari yang lalu mask sini, cantik ya haha, namanya Elaine Hartanto,” ujar ajun seraya tertawa.
            “Cantik-cantik galak gitu,” jawabku sewot.

            Pelajaran pagi itu dimulai. Pak agus memasuki ruang kelas kami, namun dengan rawut wajah gembira.
            “Selamat pagi. Hari ini bapak ingin memberikan sebuah berita bagus...” terangnya ketika sudah sampai didalam kelas.
            “Ujian semester nanti untuk pelajar bapak ditiadakan...” ujarnya dan satu kelas bersorak gembira.
            “Tapi...Kalian harus bekerja kelompok dan mencari 1 kecamatan atau kelurahan lalu mendeskripsikan tentang keluhan yang ada di kecamatan atau kelurahan tersebut,” sambungnya.
            “Ini mah sama aja kayak ujian !” ucapku pada ajun dan membuat kami resah.
            “Sekarang bapak akan membagikan kelompoknya...”
            “Tapi pak lebih baik kita milih sendiri gimana ?” murid baru bernama elaine itu pun memotong kata2 agus.
            “Hm maaf ilen lebih baik bapak yang menentukan,” balas pak agus seraya tersneyum dan kulihat wajah murid baru itu seperti tidak suka karna tak dapat memilih kelompok yang ia inginkan.
            “Kelompok 1, ...
            “Kelompok 2, ...
            “Kelompok 3, Muhammad Edwin, Fazlurrahman, Elaine Hartanto, Alycia Ferryana dan Ricky Dian.” ucap pak agus membacakan kelompok ke-3 dan disitu ada namaku, ajun, cia dan murid baru yang bernama ilen itu.
            “Ini gak salah !” ucapku resah.
            “Emang ada yang salah win ?” tanya ajun.
            “Masa iya kita satu kelompok sama murid baru yang jutek itu.” balasku kesal.
            “Haha udah lah yang penting dapat kelompok kali murid baru itu pintar.”

            Pelajaran dimulai hingga istirahat tiba. Cia meminta aku dan ajun menuju taman sekolah untuk berdiskusi tentang kelompok kami, dan kecamatan atau kelurahan mana yang akan kami jadikan bahan tugas kami.

            Aku menuju taman bersama ajun. Terlihat dari jauh disana juga sudah ada cia, ricky dan murid baru itu. Akhirnya aku dan ajun menghampiri mereka bertiga yang sudah ada ditaman.
            “Niat diskusi gak sih ?” tegur murid baru itu saat aku dan ajun sampai ditaman.
            “Emang gue telat ? Elu gak ada ngasih tau juga kan kita diskusi nya jam berapa ?” balasku sewot.
            “Eh...eh udah yuk mulai diskusinya.” sahut cia meredam suasan agar aku atau murid baru itu tak terlibat pertengkaran.
            “Ingat ya, kita disini bukan karna pilihan, tapi karna guru yang memilih. Yaudah sekarang kita bagi tugas dulu, siapa yang jadi ketua kelompok ?” ujarnya membuka diskusi saat itu.
            Ajun dan ricky membuang pandangannya agar tak ditunjuk sebagai ketua kelompok. Cia hanya memandang bukunya yang juga bersikap takut akan ditunjuk sebagai ketua kelompok.
            “Mending lu aja,” ucapku menunjuk ilen sebagai ketua kelompok namun dengan tatapan sinis.
            “Iyaa lu aja len,” sahut ricky.
            “Iyaa len lu cocok jadi ketua,” ajun pun langsung angkat bicara.
            “Yaudah kalau emang kalian yang nunjuk. Masalah tugas nanti bakal gue kasih tau dipertemuan diskusi kedua. Sebelumnya, ada saran buat kecamatan atau kelurahan yang akan kita jadikan bahan diskusi ?” terang ilen.
            “Udah masalah itu biar gue yang cari tau,” balasku.
            “Oke. Diskusi selesai, sekarang kita balik ke kelas.”

            Diskusi saat itu selesai. Kami kembali ke kelas. Tak beberapa lama kemudian, wali kelas kami masuk. Dari raut wajahnya terlihat seperti menahan amarah. Akhirnya ia membanting buku kemeja guru.
            “Pagi !” ucapnya dengan nada tinggi dan satu kelas pun seakan diam sunyi tanpa satu suara pun.
            “Pagi pak...” jawab seisi kelas dengan nada lesu seakan ketakutan.
            “Tau apa alasan bapak ke sini ?!”
           
            Seisi kelas hanya terdiam.
           
            “Siapa seksi kebersihan ?!” tanya nya.
            “Saya pak...” balas cia sambil mengangkat tangannya.
            “Kemarin saya dengan dari salah satu guru kalau kursi guru dikelas ini ada ditempel permen karet ? Ulah siapa itu ?!” terangnya lagi.

            Aku baru sadar, aku sempat mendapat kabar bahwa kursi guru dikelasku ditempeli permen karet, namun tak ada kabar siapa murid yang melakukan hal itu.
            “Saya tidak tau pak...” ucap cia merundukkan kepalanya.
            “Kelas ini hampir tercoreng karna hal tersebut, kamu sebagai kebersihkan kelas harus menanggung akibat dari semua ini karna guru bersangkutan tidak menerima hal tersebut. Sekarang juga kamu ikut bapak ke ruang BK !” sambung wali kelas kami lalu meminta cia ikut dengannya menujur ruang BK.
            Aku sebagai ketua kelas merasa salah karna hal ini, apalagi aku jarnag masuk sekolah karna turnament bola yang diikuti sekolahku.
            “Maaf pak ini salah saya...” aku angkat bicara ketika mereka belum keluar dari kelas. “Cia kamu dikelas aja, biar aku yang ikut ke BK.” Sambungku.
            “Apa maksud kamu win ?” tanya wali kelasku dengan heran.
            “Ini salah saya sebagai ketua kelas pak, bukan salah kebersihan kelas, jadi menurut saya, saya yang harus menerima hukuman ini,” ujarku dan aku ikut bersama wali kelasku menuju ruang BK.

            Setelah menerima hukuman berupa membersihkan WC sekolah, aku kembali menuju kelasku dengan wajah lesu dan kelelahan karna membersihkan semua WC disekolah.
            “Edwin maaf...” ucap cia saat aku sampai diruang kelas.
            “Bukan salah lu kok, ini salah gue juga. Oh iya lokasi buat bahan diskusi kita udah dapat, di kecamatan tulung agung dijakarta selatan,” balasku sekaligus berbicara pada ilen yang duduk bersama cia.
            “Oh gitu, bagus deh kalau emang udah dapat. Kapan kita mau mulai tugasnya ?” tanya nya.
            “Hari ini gimana ? Besok gue latihan buat turnament bola gue,” balasku.
            “Ricky, ajun sini...” panggil ilen pada mereka untuk mendiskusikan kelompok kami. Ricky dan ajun pun menghampiri kami.
            “Hari ini bisa gak kita survey langsung kecamatan yang kita jadiin bahan tugas kita ? Edwin udah dapat tuh lokasinya.” terang ilen.
            “Bisa kok !” seru mereka berdua.

            Pelajaran hari itu dilanjutkan, aku sudah memberikan alamat lokasi yang bakal kelompokku survey. Dan akhirnya aku memutuskan pulang untuk berisitrahat sejenak sebelum kembali beraktifitas.

            Sore hari tiba aku menuju lokasi tempat kelompokku survey untuk tugas ujian. Perjalanan lumayan jauh dan aku tiba dilokasi. Di lokasi sudah ada ilen, cia, ricky dan ajun.
            “Eh sorry ya telat, soalnya macet dijalan,” ucapku saat tiba disana.
            “Iya iya udah yuk mulai. Ricky sama cia kesana, ajun kesana terus aku disini mengamati lokasi, entar biar edwin yang mewawancari warga sekitar sini,” ujar ilen menjelaskan semuanya.

            Semua berpencar, aku mengeluarkan alat perekam suara yang kumiliki dan mulai mewawancari warga sekitar sini. Aku bertemu dengan seorang ibu rumah tangga, tanpa basa-basi aku pun meminta izin untuk mengajaknya berkomunikasi tentang daerah sekitar yang direkomendasikan oleh pamanku.
            “Misi buk, bisa minta waktunya sebentar,” ucapku padanya yang sedang menyapu halaman rumahnya.
            “Iya mas ada yang bisa saya bantu ?” tanya nya lalu berhenti menyapu.
            “Hm mau nanya buk, didaerah sekitar sini kondisinya gimana, ya ?” aku mulai mengeluarkan kata demi kata untuk kujadikan bahan tugasku dan merekam pembicaraan kami tentang kondisi kecamatan sekitar sini.
            “Daerah disini kumuh mas, rumah-rumah juga kurang perlindungan, apalagi kalau hujan, bisa masuk kedalam rumah airnya karna atapnya dah mulai bolong2. Sampah juga bertumpukan, soalnya dekat sini ada sungai kecil dan warga sering buang sampah didaerah situ, mas.” terangnya mendeskripsikan kondisi daerah dekat sini.
            “Kalau kondisi warga nya, buk ?”
            “Kondisi warganya mengkhawatirkan, mas. Soalnya sering terkena penyakit seperti DBD, Tipes dan cacar, mas. Saya juga berharap ada sebuah klinik kecil dekat sini untuk memperhatikan warga sekitar sini, terutama anak-anak.” terangnya semakin dalam.

            Elaine hanya memperhatikanku dari belakang, raut senyum mulai keluar dari bibirnya. Awal aku berkenalan dengannya aku kurang akrab, dan aku mengakui hal itu.
            Aku kembali melanjutkan pembicaraan dengan ibu tersebut.
            “Kalau kondisi anak-anak sekitar buk, gimana ?” tanyaku lagi.
            “Kasihan mas anak-anak dekat sini, kurang taman bermain. Mereka paling bermain lari-larian saja, mereka kurang bahagia sepertinya dimasa-masa usia seperti mereka. Padahalkan mereka juga butuh hiburan, mas. Sayangnya pemerintah kurang memperhatikan kondisi anak-anak sekitar sini.” Kurekam dan ku catat semua hasil pembicaranku dengan ibu disektar sini.

            Pada akhirnya kami kembali berkumpul dan semua hasil dokumentasiku, kuberikan pada ilen yang menjabat sebagai ketua kelompok.
            Kegiatan hari ini selesai, aku menuju balik kerumah lalu berisitrahat karna pada hari ini ku akui aku kurang beristirahat dan bisa mengancam kesehatanku.


            Pagi hari tiba, aku bergegas menuju sekolah. Sesampai disekolah kupakrkirkan sepeda motorku lalu perlahan berjalan menuju ruang kelasku.

            “Kweekkk!” Tiba-tiba aku terinjak sebuah boneka bebek kecil bewarna kuning yang mengeluarkan suara.
            “Loh ini boneka siapa ? Anak SMK masih aja ada yang suka boneka bebek kayak gini,” ucapku lalu membawa boneka itu menuju kelasku.
            “Hoy cowok main boneka, boneka bebek lagi haha,” ucap ajun mengagetkanku dari belakang.
            “Ini gue nemu, gak tau boneka siapa,” balasku.
            Aku menuju kelas bersama ajun, sesampai dikelas ilen mengagetkanku seraya berkata,
            “Loh boneka aku kok sama kamu ?!” tegurnya histeris.
            “Aku nemu didekat tangga, boneka kamu ? Nih...” ucapku lalu memberikan boneka bebek itu yang ternyata milik ilen.
            “Lucu ya, udah gede masih aja main boneka bebek-bebekkan gitu,” sambungku tersenyum lalu menuju tempat dudukku dan ku lihat ilen hanya membalasnya dengan satu senyuman.

            Pelajaran dimulai hingga saat tiba istirahat...
            “Hey sini dong...” ucap ilen memanggilku, ajun dan ricky.
            “Ada apa ?” tanyaku.
            “Sepulang sekolah dan besok kita lanjutkan tugas ini dirumahku, bisa kan ?” terang nya.
            “Hari ini gue gak bisa, besok baru gue bisa,” balasku.
            “Kenapa ?” tanya ilen lalu mengangkat satu alisnya.
            “Gue ada latihan futsal...” jawabku.
            “Ini tugas kelas...”
            “Gue punya tugas bawa nama sekolah...” ucapku sinis.
            “Yaudah kalau emang edwin gak bisa hari ini, kita aja len, besok aja baru dia ikut, udah gak apa kok,” sambung cia menyamankan suasana.

            Akhirnya aku tak bisa mengikuti kerja kelompok hari itu. Pada keesokan harinya setelah sepulang sekolah, aku menuju rumah ilen untuk bekerja kelompok melanjutkan tugas kami.
            “Lu kerjain yang ini...” ucap ilen.
            “Iya,” balasku singkat.
            “Kita tambah klinik doang,” tambahnya.
            “Terus taman nya ?” tanya ku bingung.
            “Gak perlu kita cuman tambah klinik doang,” balasnya lalu berbalik arah.
            “Anak-anak disana butuh tempat bermain juga, lu gak pernah kecil apa ? Pastinya lu punya masa kecil dan lu butuh tempat bermain atau hiburan kan ?!” ujarku dengan nada tinggi.
            “Win udah, gini aja deh kita tambah 2-2 nya aja gimana ? Biar ada klinik sama taman bermain...” sahut ajun.
            “Yaudah deh kalau gitu...” ucap ilen lalu mulai mengerjakan tugasnya.

            Disela mengerjakan tugas, tanganku teriris pisau dan mengeluarkan banyak darah. Teman-temanku yang ada disitupun khawatir. Elaine langsung beregegas masuk dan mengambil kotak P3K. Setelah itu dia mulai mengobati tanganku. Menggenggam tanganku yang sakit. Perlahan mataku menatapnya yang khawatir karna melihat tanganku yang masih mengeluarkan darah. Tiba-tiba ilen menatapku,
            “Lu sih gak hati-hati, jadi ginikan,” ucapnya terburu-buru membersihkan darah lalu perlahan mengobati tanganku. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.
            “Kenapa ?” tanya nya.
            “Gak apa-apa kok,” balasku tersenyum.
Elaine pun selesai mengobati tanganku dan tugas kembali kami lanjutkan hingga selesai.
            Teman-teman yang lain bergegas dan balik duluan. Aku masih duduk sambil bersiap-siap. Ayah ilen datang dengan tba-tiba,
            “Loh temannya ilen ?” tanya nya.
            “Hehe iya om, habis ngerjain tugas,” balasku tersenyum.
            “Hobi nya apa toh ?” tanya nya lagi.
            “Main bola om hehe, kebetulan saya bagian futsal disekolah saya...” balasku lagi dengan senyuman.
            “Dia kapten yah...” sambung ilen.
            “Kapten tim futsal disekolah kalian ? Wah bagus tuh hehe. Yaudah om masuk dulu, ada persija main hehe...” ucapnya lalu beregas masuk.

            Sikap ayah ilen membutaku hanya tersenyum, ternyata kami mempunyai hobi yang sama, yaitu sepak bola.
            “Bokap lu...”
            “Bokap gue emang gila bola...” jawabnya.
            “Lu sendiri ?” tanyaku sambil tersenyum.
            “Sudah capek tentang sepak bola, tapi kalau klub bola favorite aku, juventus...” balasnya tersenyum.
            “Oh gitu...” ucapku tersenyum sambil mengikat tali sepatuku.
           
            Seketika sunyi...

            “Lu ingat jalan keluar gak ?” tanya nya.
            “Kayaknya gue lupa deh...” balasku tersenyum seakan benar2 lupa jalan keluar.
            “Yaudah gue anterin...” ucapnya dengan senyuman lalu berdiri dan mengiringku ke jalan keluar.

            Elaine pun mengantar ku menuju jalan keluar. Berjalanan berdampingan dengannya membuat jantungku berdetak kencang. Yang awalnya aku seperti tak akrab dengannya malah seperti orang yang sudah akrab dan mulai berbicara banyak.
            “Oh jadi almarhum ayah kamu dulu pemain bola ? Sorry ya gue gak tau...” ujarnya ketika kami dijalan keluar.
            “Ya begitulah hehe, gak apa kali...” balasku tersenyum.
            “Win, kenapa kamu ngebet banget pengen bikin taman disitu ?”
            “Kata ibu yang aku wawancarai, anak-anak disana kurang tempat bermain, lebih tepatnya hanya diam saja dirumah. Kasian mereka, masih kecil harusnya ada waktu bermain atau hiburan...” ucapku menjelaskan pendapatku tentang taman tersebut sambil terus tersenyum.
            “Hm gitu, eh kalau di liat-liat, lu kalau senyum, senyum lu spesial juga yaa...” ucapnya mengagetkanku dan membuatku berhenti berjalan lalu tersenyum.
            “Eh win makusd gue...maksud gue...ahh!!!” sambungnya lalu menutup wajahnya seraya malu.
            Aku hanya tersenyum, karna sudah sampai didepan gang, aku pun meninggalkanya dengan senyuman.


            Hari esok tiba. Ketika ku disekolah aku menuju ruang tim futsal menemui pelatihku,
            “Win...sini...” panggil pelatih futsalku.
            “Kontribusi kamu ditim futsal mulai turun, kepemimpinanmu juga, jadi dengan ini saya memutuskan untuk mencabut ban kapten kamu, ini demi kebaikan tim futsal sekolah ini,” sambungnya yang membuatku kaget tak percaya. Aku hanya menganggukkan kepalaku lalu bergegas menuju kelas.

            Saat pulangan tiba, aku menghampiri ilen yang sudah keluar kelas terlebih dahulu,
            “Len...” teriakku memanggilnya.
            “Kenapa ?” tanya nya.
            “Nanti gue semi-final, lu nonton kan ?” tanyaku balik.
            “Hm kalau lu masuk final, gue ajak lu ke taman spesial gue...” balasnya lalu meninggalkanku sambil tersenyum.

            Siang hari tiba, pertandingan semi-final dimulai. Menjadi starter saat pertandingan membuat semangatku terus membara. Selang bertandingan timku malah kebobolan duluan. Kami mencoba bangkit dan teman setimku mencetak gol. Keegoisanku membuatku memainkan bola sendiri hingga akhirnya aku membuat kesalahan dan tim ku kembali kebobolan.
            Pertandingan babak kedua kembali berlangsung. Dan tepat dimenit akhir ricky mencetak gol dan pertandingan dilanjutkan dibabak adu pinalti.
            Berdebar-debar jantung semua penonton dan pemain dibabak adu pinalti ini. aku menjadi eksekutor pertama dan gagal melakukannya. Namun hasil akhir timku dapat melaju ke final.

            Semua pemain masuk ke ruang tim futsal,
            “Kapten final nanti ricky. Edwin kamu tidak akan jadi starter lebih tepatnya cadangan,” ucap pelatihku lalu bergegas keluar ruang ganti.
Ku lepas ban kapten ku lalu memberikannya ke ricky.

            Keesokan harinya aku menuju taman bersama ilen,
            “Terus ngapain ?” tanyaku.
            “Lu naik gih, terus merosot deh kayak anak kecil,” balasnya tersenyum.
            “Harus ?”
            “Cepat gih...” ucapnya yang terus-terusan tersenyum.
Akhirnya aku bermain prosotan dengannya, tertawa bersama dan lari keliling taman bersama ilen. Kini perasaanku malah berbalik bimbang, apakah sebenarnya yang terjadi dengan perasaanku. “Apakah jatuh cinta ?” tanyaku dalam hati.

            Akhirnya aku dan ilen memutuskan duduk disela taman sambil memakan ice cream.
            “Win gue mau yang entar persentasi tugas market kita, elu ya?” pinta nya.
            “Kenapa gue ?” tanyaku sambil terus memakan ice cream yang ku pegang.
            “Sebagai ketua kelompok kan gue harus ngasih hasil kerja kelompok yang bener, nah lu kurang dikit dari yang lain, makanya itu gue mau elu yang persentasi tugas kita...” pinta nya lagi.
            Aku membuang ice cream yang ku pegang,
            “Lu aja yang persentasi len, udah bener gitu kan laporan lu. Gak usah ngebelain gue lah...” balasku.
            “Apa susahnya untuk kapten tim futsal sekolah ? Cuman persentasi tugas doang...”
            “MANTAN kapten. Gue udah gagal. Buktinya selama gue jadi kapten tim gak pernah suskses, lagian final juga gak bakal main...” ucapku termenung.
            “Ninggalin tim lu gitu ? Gue pikir ya, elu itu cowok yang selama ini gue impikan, gue pikir lu peduli sama teman lu, tim lu...ternyata cuman sebatas BAN  kapten doang...” balasnya lalu meninggalkanku dengan hasrat kecewa teramat dalam padaku.

            Aku bergegas pulang kerumah. Dirumah aku duduk diruang makan bersama ibuku,
            “Dengar-dengar, katanya kamu gak mau main pas final ? Kenapa ? Apa cuman gara-gara ban kapten dicabut ? kalau benar iya, kok kayak bukan edwin yang ibu kenal ya...” ucap ibuku saat aku sedang makan diruang makan.
            “Sekarang terserah kamu...” sambungnya lalu meninggalkanku dengan raut wajah yang kecewa.

           
             Hari esok tiba. Hari ini adalah hari persentasi market tugas yang diberikan guruku. Saat aku masuk ruang persentasi ternyata sudah dimulai. Aku menghampiri kelompokku dan duduk.
            “Market buatan kita jadinya cemen yaa...” ucap cia.
            “Oh iya gue lupa bilang, makasih tamannya...memang spesial.,” ujarku ke ilen.
            “Lu pernah bilang kan, kalau kita jadi kelompok bukan karna pilihan. Kalau gue bilang sih, nasib baik yang buat kita bisa jadi 1 kelompok...” sambungku tersenyum.
            “Sekarang kelompok...elaine...” sahut guruku meminta kelompokku menjelaskan market buatan kami.
            “Jun matikan lampu...” bisikku pada ajun. Karna aku sudah memodifikasi market buatan kelompokku bersama ricky malam sebelumnya. Jadi memerlukan kegelapan agar dapat melihat market kami dengan jelas.
            “Loh loh ada apa ini,” ucap guruku kaget saat ajun mematikan lampu.

Ku angkat market buatan kelompok kami keatas meja dan menyalakan market buatan ini.
            Tek !
            Market buatan kami pun menyala dengan terang.,
            “Ini adalah kecamatan tulung agung dijakarta selatan. Rumah-rumah sudah kami perbaiki agar masyarakat mendapatkan perlindungan yang lebih nyaman dari hujan, badai dan lainnya. Disini juga ada klinik yang siap membantu warga jika terkena suatu penyakit agar warga bisa tetap hidup sehat.”

           
Ilen memperhatikanku dari belakang, sesekali ia tersenyum melihatku menjelaskan semua maksud dari market tugas yang kami buat. Dalam hatiku berbicara, bahwa aku juga akan berguna untuk sebagian orang, apalagi kerja dalam tugas kelompok.

             “Dan diaerah sini ada sebuah taman bermian untuk anak-anak agar mereka bisa terhibur dan menjalani masa kecil mereka dengan bahagia. Sungai-sungai sudah kami bersihkan sampahnya agar tak ada lagi musibah banjir kala hujan. Sekian persentasi kelompok kami...Terima kasih !”


            Semua guru dan murid diruangan itu berdiri lalu bertepuk tangan setelah melihat persentasi kelompok kami. Dan guru kami memberikan selamat pada kelompok kami.
            Saat usai kami aku keluar dari ruangan. Elaine menunggu ku didepan pintu ruangan itu,
            “Sore sibuk ? Ke taman yuk !” ajakku padanya.
            “Hm iyaa iya...” balasnya tersenyum.
            “Btw persentasi lu tadi keren !” sambungnya lalu matanya berkaca-kaca.
            “Makasih. Kenapa nangis ? Kayak anak kecil ih haha,” balasku mencubit pipinya. “Yaudah balik duluan yaa ! Ketemu ditaman nanti...” ucapku lalu meninggalkannya.

            Dan siang harinya, aku menuju taman dan kulihat ilen sudah disana duduk sendiri, aku menutup matanya dari belakang,
            “Hayoo tebak siapa ?” ucapku sambil menutup matanya dari belakang.
            “Ih siapa sih, iseng deh. Hmm pasti edwin !” balasnya dan menebakku dengan benar.
            “Haha eh aku ada sesuatu buat lu...” sambungku saat membuka tanganku dari wajahnya. “Ini nih...” lalu aku memberikannya sebuah bonek bebek bewarna kuning yang  berukuran sedang padanya.
            “Iiihhh ! Lucu banget,” ucapnya lalu memeluk boneka yang ku berikan.
            “Len asal lu tau...mungkin awal-awal kenalan kita terlihat gak akrab, mungkin aku atau kamu merasa canggung. Tapi jujur awal ketemu, aku bingung sama perasaanku, apa sebenarnya yang aku rasakan, tapi lama kelamaan aku ngerti, kalau cinta awalnya kayak bebek yang belum bisa mengenali ibunya dengan jelas. Tapi itu butuh proses, sama  seperti perkenalan kita yang juga butuh proses untuk akrab, bahkan untuk bisa jatuh cinta...” ujarku sambil memegang tangannya.
            “Makasih yaa win, aku minta maaf mungkin saat pertama kenal aku kayak jutek gitu, tapi aku gak ada maksudku, hm taman ini aku dedikasikan buat kamu, bukan cuman buat kamu, bahkan buat sebuah cinta...” balasnya dan aku langsung memeluknya.
            “Aku gak nyangka cinta datang begitu aja, dari sebuah perkenalan singkat yang awalnya mustahil untuk saling mengenal karna sifat yang begitu beda, tapi aku paham bahwa semua butuh proses seperti yang aku bilang tadi, bahwa anak bebek juga butuh proses untuk mengenali ibunya. 1 yang terpenting, aku sudah melewati proses itu, proses untuk mencintai kamu len. Dan terima kasih untuk taman spesialnya, ku janjikan bahwa cinta ini akan tetap ada bahkan jika salah satu diantara kita sedang tak ada waktu untuk berdua, datanglah kemari karna aku yakin cinta itu tetap ada ditaman ini...”

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik dan Saran.